Fleksibelitas Hukum Islam Menghadapi Covid-19

Oleh: Abrar

Hukum Islam itu sangat fleksibel, tidak kaku dan tidak tunggal. Karena, Sang Pembuat Hukum (Allah SWT) memberikan alternatif-alternatif tertentu dalam menjalankan hukum-hukum-Nya.

Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam, secara normatif memaparkan jelas dan praksis tentang hukum-hukum yang mengatur kehidupan muslim. Ketentuan itu sudah berlaku semenjak Allah dan Rasul menetapkannya untuk muslim mukallaf (orang yang cakap hukum).

Berdasarkan ketentuan itulah umat Islam menjalankan urusan-urusan keagamaanya. Hukum-hukum yang ketentuannya sudah jelas dan pasti itu, terkadang juga mengalami benturan-benturan tertentu untuk pelaksanaanya.

Berwudu’ sebagai syarat sahnya shalat dalam waktu tertentu dapat digantikan dengan tayamum. Seseorang dalam keadaan sakit, sangat kedinginan dan alasan syara’ lainnya.

Rukun shalat sendiri bisa tidak ditunaikan sebagaima mestinya. Misal, berdiri sempurna diganti dengan duduk atau berbaring bagi mukallaf yang sedang sakit berat. Allah menganjurkan salat itu pada waktunya, sesuai dengan jumlah rakaatnya.

Dalam keadaan musafir dibolehkan shalat Ashar di waktu zuhur dan zuhur di waktu Ashar, atau Maghrib di waktu Isya atau Isya di waktu Maghrib, yang dalam bentuk lain disebut dengan jama’ (menggabungkan). Juga berlaku dalam mengurangi jumlah raka’at shalat dari empat menjadi dua, seperti shalat Zuhur, Ashar dan Isya.

Bahkan dalam sebuah hadis Nabi menjelaskan bahwa, shalat Jum’at pun diganti dengan shalat Zuhur ketika hujan lebat menyelimuti umat Islam kala itu dengan menyuruh shalat di rumah masing-masing (shallu fii buyutikum)

Tidak hanya sampai di situ hukum-hukum Allah yang ketentuannya telah pasti itu bisa tidak diberlakukan dalam kondisi-kondisi tidak memungkinkan hukum itu dilaksanakan.

Umar ibn Khattab pernah tidak memberlakukan hukum potong tangan pada seorang pencuri dalam kondisi paceklik, padahal hukum potong tangan itu adalah hukum pasti dan wajib diterapkan untuk pencuri.

Umar juga tidak memberikan zakat pada muallaf saat umat Islam tidak menganggap maslahat lagi untuk membujuk hati para muallaf (orang masuk Islam). Pada hal itu adalah perintah untuk ditunaikan kepada salah satu ashnaf yang berhak menerima zakat.

Bahkan agama juga membolehkan melakukan hal-hal yang sudah diharamkan, seperti memakan babi, ular dan lainnya yang ketentuan haramnya sudah pasti dan jelas.

Banyak contoh-contoh lain yang terjadi di masa Rasulullah, para sahabat dan para imam mujtahid yang bisa dijadikan pengetahuan dalam memahami bagaimana hukum itu mengalami perubahan dikarenakan berubahnya situasi dan kondisi dalam suatu masyarakat.

Salah satu kaedah Hukum Islam yang poluler yang menjelaskan fleksibelitasi hukum ini adalah “Taghaiyyurul Ahkam bi Thaghaiyyuri al-Azman wa al-Amkan” (hukum itu mengalami perubahan dengan adanya perubahan situasi dan kondisi).

Covid-19 yang dinyatakah WHO sebagai pandemi adalah fenomena yang berimplikasi pada kehidupan beragama umat Islam, terutama berkaitan dengan ibadah mahdhah seperti shalat, umrah, haji dan juga ibadah ghairu mahdhah seperti bersilaturrahmi dan bersosial lainnya.

Dalam Hukum Islam Shalat berjama’ah khusus bagi laki-laki tidak saja hukumnya sunat bahkan banyak ulama berpendapat wajib. Demikian halnya shalat jum’at dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.

Menunaikan perintah itu menurut hukum dasarnya adalah wajib “al-ashlu fi al-amri li al-wujub” (hukum asl perintah itu adalah wajib). Bahkan Nabi menegaskan; Andaikan orang-orang tahu pahala shalat Subuh dan Isya berjamaah di masjid, mereka akan datang sekalipun harus merangkak.

Pahala shalat berjamah di mesjid juga tidak sedikit, disamping 27 kali lipat pahala berjamaah. Juga ada 25 pahala datang ke masjid dan dihapuskan satu dosa dari setiap langkahnya menuju masjid.

Tidak heran jika umat Islam harus berkeras hati untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan itu disamping juga khawatir melanggar perintah Allah dan Rasul. Motivasi itu juga kelihatan pada saat-saat kondisi yang mengkhawatirkan saat ini.

Banyak di antara umat Islam yang masih bertahan untuk memilih shalat ke masjid dengan asumsi pemahaman yang diyakini dan relatif tidak mempedulikan situasi bahkan himbauan dari ulama dan pemerintah. Bisa jadi ulama dan pemerintah tidak dianggap representasi yang “bisa mewakili apalagi menggantikan keyakinan terhadap hukum-hukum Allah dan Rasul yang dipahami sebelumnya.

Tidak melakukan shalat berjama’ah di Masjid dan melakukannya di rumah,
mengganti Shalat Jum’at dengan Shalat Zuhur, tidak melakukan umrah dan haji dalam waktu sulit di tengah menularnya Covid–19 juga hukum Allah dan Rasul.

Karena hukum Allah dan Rasul bukan saja hukum yang dibaca secara tertulis (tersurat), hukum Allah itu juga ada yang tersirat dan bahkan tersuruk (istilah yang sering dipakai Prof. Amir Syarifuddin).

Fatwa ulama dan keputusan pemerintah untuk tidak melaksanakan ibadah-ibadah tersebut di masjid adalah dalam rangka merealisir hukum Allah yang tersirat, dan mengikuti fatwa-fatwa ulama dan instruksi pemerintah adalah dalam rangka mematuhinya sekaligus.

Fatwa adalah salah satu bentuk produk hukum Islam yang juga ditemukan melalui hasil ijtihad ulama. Setiap ijtihad yang dilakukan menggunakan dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah atau dalam bahasa lain disebut dengan “istinbath’.

Mengikuti fatwa ulama yang didasarkan pada ketentuan sumber hukum Islam sama artinya mengikuti ajakan Rasulullah Saw. Karena ulama adalah pewaris Nabi yang bertugas menyampaikan risalah kenabian, (al-Ulama’ waratsat al-anbiya’).

Begitu juga mengikuti instruksi presiden dan kepala daerah lainnya yang mengajak untuk tetap di rumah (stay at home), local lockdown, social distancing, isolasi dan lain-lainnya, dengan tidak mengadakan kegiatan yang melibatkan banyak orang, juga bagian dari mengikuti perintah Allah Swt. Seperti dicantumkan dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 59 (wa ulil amri minkum).

Rukhsah (keringan pada waktu sulit) dalam melaksanakan ibadah adalah hukum Allah dan Rasul. Meninggalkan perintah Allah dan melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah dalam keadaan terpaksa (dharurah) itu juga hukum Allah.

Ketentuan itu tentunya tidak akan menghilangkan kepatuhan seorang muslim terhadap hukum pertama, karena ketentuan hukum kedua pun adalah hukum Allah dan Rasul.

Tidak memakan babi dalam kondisi normal adalah mematuhi perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3. Pun memakan babi dalam keadaan terpaksa juga dalam rangka mematuhi ketentuan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an surat ayat. Al-Nahl ayat 115.

Covid-19 adalah virus yang mematikan dan penyebarannya tidak diketahui secara pasti. Indonesia adalah salah satu negara yang sudah tercatat sebagai negara yang mengalami penyebaran virus ini.

Situasi seperti ini sudah dapat dikategorikan sulit dan kesulitan itu mewajibkan umat Islam memilih hukum Allah dalam bentuk kedua yaitu rukhsah dan bahkan dharurah.

Rushkhah dalam konteks ini dimaknai keringanan yang diberikan Allah dengan sebab Covid-19 untuk melaksanakan shalat berjamaah di rumah dan mengganti Shalat Jum’at dengan Shalat Zuhur di rumah.

Dharurah adalah kondisi yang mewajibkan shalat di rumah dan bahkan haram melakukannya di masjid. Hal ini seperti difatwakan MUI bahwa tempat-tempat yang sudah diketahui dan dipastikan corona hukum melaksanakan Shalat Jum’at wajib diganti dengan Shalat Zuhur.

Sebagai perbandingan situasi ini perlu dicermati apa yang disampaikan Imam al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat bahwa orang yang dalam keadaan lapar dan makanan tidak ada kecuali hanya yang diharamkan, maka orang itu wajib memakanya sekadar untuk menutupi rasa lapar. Tidak memakan yang diharamkan itu dalam keadaan lapar dan mati, maka matinya dalam keadaan berdosa.

Demikian halnya bagi orang yang sudah mengetahui bahwa Covid-19 adalah virus yang mematikan dan virus itu berjangkit di wilayahnya, maka ia wajib menghindari virus tersebut, dan bila tetap melakukan aktivitas yang menyebabkan virus itu menular dan menyebabkan kematiannya atau kematian orang lain maka itu pun adalah dosa.

Agama mengajarkan bahwa tidak boleh membuat kerusakan untuk diri sendiri dan orang lain; laa dharara wala dhirara-

Ketentuan hukum untuk menjaga jiwa adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar bahkan ulama menempatkannya pada tempat yang genting dan dilindungi (dharuriyah).

Kewajiban itu disepakati ulama dalam lima hal yang harus dipelihara oleh umat Islam : agama jiwa, akal, keturunan dan harta.

Contoh memelihara jiwa yang sering dijelaskan dalam fiqih adalah memakan babi. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan yang diharamkan sekalipun dilakukan dalam keadaan terpaksa juga merupakan bentuk kepatuhan kepada Allah.

Apalagi dalam bentuk mengalihkan kewajiban shalat berjamaah di rumah dan Shalat Jum’at menjadi Shalat Zuhur di rumah, tentulah masih dalam standar dibawah contoh tadi dan menjadi bagian kepatuhan kepada Allah dalam menjalankan perintah-Nya.

Hukum-hukum Allah semuanya diperuntukkan atas kepentingan terhadap kemanusiaan atau dalam istilah Kuntowijoyo ‘humanisme-teosentris’.

Tujuan ini sejalan dengan kaedah hukum Al-Syari’atu lita’mini mahalih al-Insan (Syariat itu adalah untuk kemaslahatan manusia).

Menghindari Covid-19 adalah wajib dan lebih diutamakan karena mencegah terjadinya kematian manusia, dibanding shalat berjamaah, jumat yang kemaslahatannya harus ditunda dan digantikan dengan kemaslahatan yang baru.

Wallahu A’lam bi al-Tsawab.(*)

(Penulis adalah Dosen Politik Hukum Islam Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang. Ketua Umum Yayayan Thawalib Padang Panjang).

Pos terkait